Pengertian Etika
Secara
sederhana, etika adalah suatu suatu cabang ilmu filsafat yang mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan moral. Etika berisi prinsip-prinsip moralitas dasar
yang akan mengarahkan perilaku manusia.
Jenis-Jenis Etika
Meta ethics:
Berkaitan
dengan arti atas suatu penilaian etis sehingga dapat dipertanggung-jawabkan
kebenarannya. Mempelajari dasar-dasar etika dan moralitas.
Normative ethics: Suatu
pengetahuan mengenai apakah suatu perilaku itu benar atau salah (science of
conduct)
Socrates: Seseorang akan
melakukan hal yang benar bila ia mengetahui apa yang benar. Tindakan yang salah
muncul karena orang itu tidak mengetahui apa yang benar.
Aristotle: Seseorang akan
melakukan hal yang benar bila ia menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya. Rasa
frustrasi dan ketidakbahagiaan muncul karena seseorang tidak dapat memunculkan
seluruh potensinya.
Hedonisme: Seseorang
dianggap benar bila ia mementingkan kepuasan dirinya dan mengurangi rasa sakit.
Cyrenaic Hedonism:
Carilah kepuasan diri, itulah yang terbaik
Epicureanism: Carilah
kecukupan diri
Stoicism: Hal yang
terpenting adalah pengendalian diri dan kedamaian
Applied ethics: Suatu cabang
filsafat yang berusaha menerapkan teori-teori mengenai etika pada kehidupan
sehari-hari manusia.
Contoh: Etika Bisnis,
Etika Kedokteran, Etika Periklanan
Applied ethics pada umumnya berupa etika profesi dan
etika organisasi
Dengan semakin
kompleksnya masalah moralitas di dunia modern, tidaklah mudah menerapkan
dikotomi (benar-salah) pada setiap masalah moral. Setiap masalah dapat dilihat
dari berbagai sudut pandang yang dapat menghasilkan pendapat/penilaian yang
berbeda-beda.
Contoh: Apakah
etis/bermoral seorang ibu menggugurkan kandungannya? Apakah etis/bermoral
seseorang melakukan hubungan seksual sebelum resmi menikah?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan moral di atas bisa
beragam tergantung pada latar-belakang sosial, budaya, agama dan kepercayaan
individu yang menghadapi pertanyaan tersebut. Tindakan tersebut dapat dinilai
tidak bermoral dari satu sudut pandang, tapi bisa saja dibenarkan dari sudut
pandangan yang lain.
Etiquette:
Suatu pedoman
perilaku yang mempengaruhi harapan untuk berperilaku sosial sesuai dengan
konvensi norma yang berlaku dalam suatu kelompok sosial tertentu
Contoh: Tidak sopan bila makan sambil bicara
Etika vs Etiket:
Etika mempunyai
cakupan yang jauh lebih luas daripada etiket karena etika menjangkau proses
berpikir dan suara-hati dalam menentukan suatu pendapat atau perilaku sedangkan
etiket terbatas pada perilaku sosial saja.
Dengan kata
lain, seseorang dapat saja melakukan suatu perilaku yang beretiket (sesuai
dengan tuntutan lingkungan sosialnya), tapi sebenarnya perilaku tersebut tidak
disukainya, tidak dapat diterimanya sebagai bagian dari nilai-nilai hidupnya.
Contoh: Suatu suku bangsa mempunyai etiket bila berjalan di hadapan seseorang
yang lebih tua usianya, maka ia harus menundukkan badannya sebagai tanda
hormat. Seseorang dari suku bangsa lain mungkin saja melakukan hal itu demi
tenggang-rasa sosial dengan lingkungannya walaupun pada saat ia berada di
lingkungan sosial lainnya, ia tidak akan secara konsisten melakukan hal
tersebut.
Etika dengan
demikian membentuk nilai-nilai yang bersifat relatif lebih konsisten
dibandingkan etiket.
Etika & Budaya
Sebagai salah
satu tatanan moral, maka etika akan sangat dipengaruhi oleh budaya. Budaya yang
berbeda dapat membentuk tatanan moral yang berbeda dan dengan demikian sistem
etika yang berbeda pula. Dalam setiap budaya terdapat nilai-nilai budaya,
contoh: gotong-royong, penghormatan pada orang tua, dll
Ada nilai-nilai
budaya yang bersifat lokal (hanya berlaku pada satu kelompok sosial saja) ada
pula nilai-nilai budaya yang bersifat inter-lokal, bahkan global (contoh:
penghargaan kepada nilai-nilai kejujuran bersifat global, penilaian negatif
kepada orang yang hanya bisa bicara tapi tidak mau bertindak adalah contoh
etika global lainnya)
Nilai-nilai budaya akan mempengaruhi norma etika yang
terbentuk
Perlu dicatat
bahwa kelompok sosial disini dapat pula berarti institusi, kelompok profesi
(contoh: dokter, militer dlsb) dan sebagainya. Artinya, setiap kelompok sosial
pasti akan membentuk suatu nilai-nilai budaya (misalnya dalam perusahaan,
dikenal istilah: budaya perusahaan, dan dalam budaya tersebut terdapat
nilai-nilai tertentu yang membedakan perusahaan yang satu dengan perusahaan
lainnya).
Etika & Hukum Positif
Etika
seringkali menjadi acuan dari penyusunan suatu hukum positif. Umumnya, etika
muncul terlebih dahulu baru institusi pemerintah (sebagai badan yang berhak
menerbitkan hokum positif) mengangkat pedoman etika tersebut menjadi suatu
hokum positif. Hal ini terjadi karena pemerintah menginginkan adanya sanksi
hukum yang lebih jelas dan pasti bagi tindakan-tindakan tertentu (bila hanya
ada pedoman etika, maka sanksinya hanyalah sekedar sanksi sosial, dimana setiap
kelompok sosial bisa memberikan sanksi sosial yang berbeda-beda; baik dari sisi
bentuk sanksinya, maupun bobot sanksi tersebut).
Contoh: peraturan
mengenai aborsi, peraturan mengenai pornografi, peraturan mengenai jurnalisme,
dll.
Meskipun
demikian, etika umumnya selalu bersifat lebih luas daripada hukum positif. Hal
ini disebabkan pedoman etika selalu bersifat lebih dinamis (bergerak dan
berubah mengikuti pola perubahan budaya suatu kelompok sosial) daripada hukum
positif yang tidak dapat dipungkiri akan selalu mempunyai muatan
kepentingan-kepentingan politis di dalamnya.
Secara sederhana:
pelanggaran atas suatu hukum positif akan selalu berarti perilaku yang tidak
etis tetapi pelanggaran suatu etika, belumlah tentu melanggar suatu hukum
positif.
Iklan & Etika
Sebelum
mengaitkan ke dua hal di atas, marilah kita kembali perhatikan beberapa
pengertian dasar mengenai iklan dan periklanan.
Definisi iklan:
Pesan
komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu produk yang
disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal serta
ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat
Definisi periklanan:
Seluruh proses
yang meliputi penyiapan, perencanaan, penyampaian dan umpan balik dari pesan komunikasi
pemasaran
(Dikutip dari: Etika Pariwara Indonesia, cetakan 3,
2007)
Keuntungan dari adanya iklan:
Adanya
informasi kepada konsumer akan keberadaan suatu produk dan “kemampuan” produk
tersebut. Dengan demikian konsumer mempunyai hak untuk memilih produk yang
terbaik sesuai dengan kebutuhannya.
Adanya
kompetisi sehingga dapat menekan harga jual produk kepada konsumen. Tanpa
adanya iklan, berarti produk akan dijual dengan cara eksklusif
(kompetisisi sangat minimal) dan produsen bisa sangat berkuasa dalam
menentukan harga jualnya.
Memberikan
subsidi kepada media-massa sehingga masyarakat bisa menikmati media-massa
dengan biaya rendah. Hampir seluruh media-massa “hidup” dari iklan (bukan dari
penghasilannya atas distribusi media tersebut). Munculnya media-media gratis
memperkuat fakta bahwa mereka bisa mencetak dan mendistribusikan media tersebut
karena adanya penghasilan dari iklan.
Keburukan dari adanya iklan:
Memunculkan
budaya materialisme. Konsumer yang tidak memiliki kemampuan rasional yang cukup
baik dapat mudah terbujuk untuk membeli/mengkonsumsi produk-produk yang mungkin
bukan merupakan kebutuhan utamanya. Hal ini dapat mengakibatkan persepsi yang
salah di mata masyarakat bahwa memiliki/mengkonsumsi suatu produk dianggap
menaikkan harkat diri manusia. Contoh: bila belum makan hamburger, rasanya
belum menjadi manusia modern.
Memunculkan
perilaku stereotip yang berbahaya. Penampilan tokoh-tokoh/model pada iklan
dapat menimbulkan persepsi yang salah, seperti: bicara mengenai karir berarti
bicara mengenai dunia kaum pria, bicara mengenai kecantikan berarti bicara
mengenai kulit yang putih, rambut yang panjang terurai, bicara mengenai
keluarga bahagia berarti bicara mengenai ayah, ibu, anak pria dan anak wanita
dan lain-lain.
Munculnya produk-produk
yang sebenarnya berbahaya untuk dikonsumsi. Karena alasan mendapatkan
perlakukan yang sama dalam berkomunikasi dengan konsumernya, maka produk-produk
itu juga diperkenankan beriklan (walaupun dengan banyak batasan) sehingga
mempunyai resiko produk-produk itu dikenal oleh consumer-konsumer baru yang
sebelumnya belum mengenail produk-produk tersebut. Ada pula produk-produk lain
yang dalam iklannya berusaha membujuk konsumernya untuk menggunakan suatu
produk dengan frekuensi yang sebanyak mungkin sehingga dapat memutar roda
ekonomi. Padahal penambahan frekuensi penggunaan tidaklah secara otomatis
berdampak pada peningkatan kualitas hidup manusia, bahkan dalam beberapa kasus,
hal ini malah bisa membahayakan diri manusia.
Efek negatif iklan bisa sangat signifikan karena 3
faktor utama dari ciri-ciri dasar iklan:
Persuasif
Iklan
bagaimanapun juga akan selalu mempunyai unsur membujuk seseorang untuk
mempercayai isi pesan pada iklan tersebut dengan harapan konsumer mau
memperhatikan, mencoba dan menjadi loyal terhadap suatu produk/jasa.
Frekuensi
Iklan akan
selalu ditampilkan dengan frekuensi yang tinggi dengan harapan dapat menjangkau
lebih banyak konsumer dan makin mudah diingat oleh konsumer.
Exposure
Eksposur
berkaitan dengan bagaimana pengiklan berusaha “mengurung” konsumer dengan
berbagai macam media untuk menyampaikan pesan-pesan iklannya. Setiap media yang
digunakan berarti akan menambah tingkat eksposur dari produk/jasa tersebut
sehingga konsumer selalu teringat atas produk/jasa tersebut.
Menyadari sisi baik dan buruk dari periklanan, maka
perlu disusun suatu pedoman Etika Periklanan di Indonesia (yaitu kitab Etika
Pariwara Indonesia).
Apakah lalu masalahnya selesai? TIDAK!
Muncul pertanyaan baru: bukankah iklan “mendewakan”
kreatifitas? Panduan etika hanya akan membatasi bahkan memasung kreatifitas
tersebut!
Iklan dan etika seharusnya TIDAK dipertentangkan dan
justru harus saling melengkapi
Lihat kembali pada definisi iklan dan pengertian
mengenai etika
Keduanya memiliki satu unsur yang sama:
o Iklan harus
bersifat komunikatif kepada khalayaknya agar dapat diterima
o Untuk itu, iklan perlu mengetahui “consumer
insights” yang akan sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya
o Etika juga disusun berdasarkan nilai-nilai budaya;
termasuk nilai-nilai budaya dari khalayak
o Etika dengan demikian merupakan “negative consumer
insights”; suatu pagar yang membatasi kreatifitas agar pesan komunikasi tidak
ditolak oleh khalayak
Dapat ditambahkan pula analogi berikut di sini:
Pekerja kreatif
di dunia periklanan adalah berbeda sifatnya dengan pekerja kreatif di dunia
seni murni (“pure art”). Kreatif di dunia periklanan termasuk kategori
“commercial art”; dimana dalam pengertiannya, suatu karya kreati periklanan
berarti mempunyai “stakeholder” yaitu: pemesan iklan (produsen), biro iklan,
mitra kerja biro iklan (rumah produksi, percetakan dan sebagainya), media massa
dan berakhir pada konsumen. Suatu karya “pure art” (misalnya karya lukisan
Picasso), lebih cenderung merupakan karya “dari saya untuk saya”. Suatu
“consumer art” harus dapat menjembatani seluruh kebutuhan dari para
“stakeholder”-nya tersebut.
Salah satu
“jembatan” yang penting adalah bagaimana inti pesan dalam suatu iklan dapat
diterima dengan baik oleh semua pihak yang terlibat. Di sinilah peran etika
muncul. Etika komunitas periklanan memang dapat dimaklumi sifatnya membatasi
ruang gerak para pelaku usaha di komunitas ini. Pembatasan itu bertujuan
positif agar seluruh pihak terkait dapat melakukan usahanya dengan sebaik mungkin
tanpa harus merugikan salah satu pihak terkait.
Seorang insan
kreatif periklanan yang tidak ingin “dibatasi” dengan segala pedoman etika
tersebut sebaiknya berpikir ulang untuk meneruskan karirnya di dunia periklanan
karena dengan tidak memperhatikan etika periklanan secara otomatis ia juga
tidak mau memahami dan mengapresiasi nilai-nilai budaya masyarakat yang menjadi
sasaran komunikasinya. Dengan demikian, dapat dipastikan, hasil karya iklannya
tidak akan efektif dan efisien juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar