Rabu, 04 Desember 2013

Contoh Kasus Pelanggaran Etika Bisnis


PT.Megasari Makmur
Perjalanan obat nyamuk bermula pada tahun 1996, diproduksi oleh PT Megasari Makmur yang terletak di daerah Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. PT Megasari Makmur juga memproduksi banyak produk seperti tisu basah, dan berbagai jenis pengharum ruangan. Obat nyamuk HIT juga mengenalkan dirinya sebagai obat nyamuk yang murah dan lebih tangguh untuk kelasnya. Selain di Indonesia HIT juga mengekspor produknya ke luar Indonesia.

            Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia. Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.

HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.

ANALISIS :
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pada pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Kaum tradisional membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan kepada kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris, juru tulis, atau tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.
Kita mengetahui bahwa Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran perusahaan besarpun berani untuk mmengambil tindakan kecurangan untuk menekan biaya produksi produk. Mereka hanya untuk mendapatkan laba yang besar dan ongkos produksi yang minimal. Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya . dalam kasus HIT sengaja menambahkan zat diklorvos untuk membunuh serangga padahal bila dilihat dari segi kesehatan manusia, zat tersebut bila dihisap oleh saluran pernafasan dapat menimbulkan kanker hati dan lambung.
Dan walaupun perusahaan sudah meminta maaf dan juga mengganti barang dengan memproduksi barang baru yang tidak mengandung zat berbahaya tapi seharusnya perusahaan jugamemikirkan efek buruk apa saja yang akan konsumen rasakan bila dalam penggunaan jangka panjang. Sebagai produsen memberikan kualitas produk yang baik dan aman bagi kesehatan konsumen selain memberikan harga yang murah yang dapat bersaing dengan produk sejenis lainnya.

Penyelesaian Masalah yang dilakukan PT.Megasari Makmur dan Tindakan Pemerintah
Pihak produsen (PT. Megasari Makmur) menyanggupi untuk menarik semua produk HIT yang telah dipasarkan dan mengajukan izin baru untuk memproduksi produk HIT Aerosol Baru dengan formula yang telah disempurnakan, bebas dari bahan kimia berbahaya. HIT Aerosol Baru telah lolos uji dan mendapatkan izin dari Pemerintah. Pada tanggal 08 September 2006 Departemen Pertanian dengan menyatakan produk HIT Aerosol Baru dapat diproduksi dan digunakan untuk rumah tangga (N0. RI. 2543/9-2006/S).Sementara itu pada tanggal 22 September 2006 Departemen Kesehatan juga mengeluarkan izin yang menyetujui pendistribusiannya dan penjualannya di seluruh Indonesia.

Undang-undang
Jika dilihat menurut UUD, PT Megarsari Makmur sudah melanggar beberapa pasal, yaitu :
Pasal 4, hak konsumen adalah :
Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
PT Megarsari tidak pernah memberi peringatan kepada konsumennya tentang adanya zat-zat berbahaya di dalam produk mereka.Akibatnya, kesehatan konsumen dibahayakan dengan alasan mengurangi biaya produksi HIT.
Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :
Ayat 2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
PT Megarsari tidak pernah memberi indikasi penggunaan pada produk mereka, dimana seharusnya apabila sebuah kamar disemprot dengan pestisida, harus dibiarkan selama setengah jam sebelum boleh dimasuki lagi.
Pasal 8
Ayat 1 : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran”
PT Megarsari tetap meluncurkan produk mereka walaupun produk HIT tersebut tidak memenuhi standar dan ketentuan yang berlaku bagi barang tersebut.Seharusnya, produk HIT tersebut sudah ditarik dari peredaran agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi mereka tetap menjualnya walaupun sudah ada korban dari produknya.
Pasal 19 :
Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”
Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”
Menurut pasal tersebut, PT Megarsari harus memberikan ganti rugi kepada konsumen karena telah merugikan para konsumen.

Tanggapan :
PT. Megarsari Makmur sudah melakukan perbuatan yang sangat merugikan dengan memasukkan 2 zat berbahaya pada produk mereka yang berdampak buruk pada konsumen yang menggunakan produk mereka. Salah satu sumber mengatakan bahwa meskipun perusahaan sudah melakukan permintaan maaf dan berjanji menarik produknya, namun permintaan maaf itu hanyalah sebuah klise dan penarikan produk tersebut seperti tidak di lakukan secara sungguh –sungguh karena produk tersebut masih ada dipasaran.
Pelanggaran Prinsip Etika Bisnis yang dilakukan oleh PT. Megarsari Makmur yaitu Prinsip Kejujuran dimana perusahaan tidak memberikan peringatan kepada konsumennya mengenai kandungan yang ada pada produk mereka yang sangat berbahaya untuk kesehatan dan perusahaan juga tidak memberi tahu penggunaan dari produk tersebut yaitu setelah suatu ruangan disemprot oleh produk itu semestinya ditunggu 30 menit terlebih dahulu baru kemudian dapat dimasuki /digunakan ruangan tersebut.
Melakukan apa saja untuk mendapatkan keuntungan pada dasarnya boleh dilakukan asal tidak merugikan pihak mana pun dan tentu saja pada jalurnya. Disini perusahaan seharusnya lebih mementingkan keselamatan konsumen yang menggunakan produknya karena dengan meletakkan keselamatan konsumen diatas kepentingan perusahaan maka perusahaan itu sendiri akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar karena kepercayaan / loyalitas konsumen terhadap produk itu sendiri.

Etika Dalam Periklanan


Pengertian Etika
Secara sederhana, etika adalah suatu suatu cabang ilmu filsafat yang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan moral. Etika berisi prinsip-prinsip moralitas dasar yang akan mengarahkan perilaku manusia.

Jenis-Jenis Etika
Meta ethics:
Berkaitan dengan arti atas suatu penilaian etis sehingga dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Mempelajari dasar-dasar etika dan moralitas.
Normative ethics: Suatu pengetahuan mengenai apakah suatu perilaku itu benar atau salah (science of conduct)
Socrates: Seseorang akan melakukan hal yang benar bila ia mengetahui apa yang benar. Tindakan yang salah muncul karena orang itu tidak mengetahui apa yang benar.
Aristotle: Seseorang akan melakukan hal yang benar bila ia menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya. Rasa frustrasi dan ketidakbahagiaan muncul karena seseorang tidak dapat memunculkan seluruh potensinya.
Hedonisme: Seseorang dianggap benar bila ia mementingkan kepuasan dirinya dan mengurangi rasa sakit.
Cyrenaic Hedonism: Carilah kepuasan diri, itulah yang terbaik
Epicureanism: Carilah kecukupan diri
Stoicism: Hal yang terpenting adalah pengendalian diri dan kedamaian
Applied ethics: Suatu cabang filsafat yang berusaha menerapkan teori-teori mengenai etika pada kehidupan sehari-hari manusia.
Contoh: Etika Bisnis, Etika Kedokteran, Etika Periklanan
Applied ethics pada umumnya berupa etika profesi dan etika organisasi

Dengan semakin kompleksnya masalah moralitas di dunia modern, tidaklah mudah menerapkan dikotomi (benar-salah) pada setiap masalah moral. Setiap masalah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang dapat menghasilkan pendapat/penilaian yang berbeda-beda.
Contoh: Apakah etis/bermoral seorang ibu menggugurkan kandungannya? Apakah etis/bermoral seseorang melakukan hubungan seksual sebelum resmi menikah?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan moral di atas bisa beragam tergantung pada latar-belakang sosial, budaya, agama dan kepercayaan individu yang menghadapi pertanyaan tersebut. Tindakan tersebut dapat dinilai tidak bermoral dari satu sudut pandang, tapi bisa saja dibenarkan dari sudut pandangan yang lain.

Etiquette:
Suatu pedoman perilaku yang mempengaruhi harapan untuk berperilaku sosial sesuai dengan konvensi norma yang berlaku dalam suatu kelompok sosial tertentu
Contoh: Tidak sopan bila makan sambil bicara

Etika vs Etiket:
Etika mempunyai cakupan yang jauh lebih luas daripada etiket karena etika menjangkau proses berpikir dan suara-hati dalam menentukan suatu pendapat atau perilaku sedangkan etiket terbatas pada perilaku sosial saja.
Dengan kata lain, seseorang dapat saja melakukan suatu perilaku yang beretiket (sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya), tapi sebenarnya perilaku tersebut tidak disukainya, tidak dapat diterimanya sebagai bagian dari nilai-nilai hidupnya. Contoh: Suatu suku bangsa mempunyai etiket bila berjalan di hadapan seseorang yang lebih tua usianya, maka ia harus menundukkan badannya sebagai tanda hormat. Seseorang dari suku bangsa lain mungkin saja melakukan hal itu demi tenggang-rasa sosial dengan lingkungannya walaupun pada saat ia berada di lingkungan sosial lainnya, ia tidak akan secara konsisten melakukan hal tersebut.
Etika dengan demikian membentuk nilai-nilai yang bersifat relatif lebih konsisten dibandingkan etiket.

Etika & Budaya
Sebagai salah satu tatanan moral, maka etika akan sangat dipengaruhi oleh budaya. Budaya yang berbeda dapat membentuk tatanan moral yang berbeda dan dengan demikian sistem etika yang berbeda pula. Dalam setiap budaya terdapat nilai-nilai budaya, contoh: gotong-royong, penghormatan pada orang tua, dll
Ada nilai-nilai budaya yang bersifat lokal (hanya berlaku pada satu kelompok sosial saja) ada pula nilai-nilai budaya yang bersifat inter-lokal, bahkan global (contoh: penghargaan kepada nilai-nilai kejujuran bersifat global, penilaian negatif kepada orang yang hanya bisa bicara tapi tidak mau bertindak adalah contoh etika global lainnya)
Nilai-nilai budaya akan mempengaruhi norma etika yang terbentuk
Perlu dicatat bahwa kelompok sosial disini dapat pula berarti institusi, kelompok profesi (contoh: dokter, militer dlsb) dan sebagainya. Artinya, setiap kelompok sosial pasti akan membentuk suatu nilai-nilai budaya (misalnya dalam perusahaan, dikenal istilah: budaya perusahaan, dan dalam budaya tersebut terdapat nilai-nilai tertentu yang membedakan perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya).

Etika & Hukum Positif
Etika seringkali menjadi acuan dari penyusunan suatu hukum positif. Umumnya, etika muncul terlebih dahulu baru institusi pemerintah (sebagai badan yang berhak menerbitkan hokum positif) mengangkat pedoman etika tersebut menjadi suatu hokum positif. Hal ini terjadi karena pemerintah menginginkan adanya sanksi hukum yang lebih jelas dan pasti bagi tindakan-tindakan tertentu (bila hanya ada pedoman etika, maka sanksinya hanyalah sekedar sanksi sosial, dimana setiap kelompok sosial bisa memberikan sanksi sosial yang berbeda-beda; baik dari sisi bentuk sanksinya, maupun bobot sanksi tersebut).
Contoh: peraturan mengenai aborsi, peraturan mengenai pornografi, peraturan mengenai jurnalisme, dll.
Meskipun demikian, etika umumnya selalu bersifat lebih luas daripada hukum positif. Hal ini disebabkan pedoman etika selalu bersifat lebih dinamis (bergerak dan berubah mengikuti pola perubahan budaya suatu kelompok sosial) daripada hukum positif yang tidak dapat dipungkiri akan selalu mempunyai muatan  kepentingan-kepentingan politis di dalamnya.
Secara sederhana: pelanggaran atas suatu hukum positif akan selalu berarti perilaku yang tidak etis tetapi pelanggaran suatu etika, belumlah tentu melanggar suatu hukum positif.

Iklan & Etika
Sebelum mengaitkan ke dua hal di atas, marilah kita kembali perhatikan beberapa pengertian dasar mengenai iklan dan periklanan.

Definisi iklan:
Pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat

Definisi periklanan:
Seluruh proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, penyampaian dan umpan balik dari pesan komunikasi pemasaran

(Dikutip dari: Etika Pariwara Indonesia, cetakan 3, 2007)
Keuntungan dari adanya iklan:
Adanya informasi kepada konsumer akan keberadaan suatu produk dan “kemampuan” produk tersebut. Dengan demikian konsumer mempunyai hak untuk memilih produk yang terbaik sesuai dengan kebutuhannya.
Adanya kompetisi sehingga dapat menekan harga jual produk kepada konsumen. Tanpa adanya iklan, berarti produk akan dijual dengan cara eksklusif  (kompetisisi sangat minimal) dan produsen bisa sangat berkuasa dalam menentukan harga jualnya.
Memberikan subsidi kepada media-massa sehingga masyarakat bisa menikmati media-massa dengan biaya rendah. Hampir seluruh media-massa “hidup” dari iklan (bukan dari penghasilannya atas distribusi media tersebut). Munculnya media-media gratis memperkuat fakta bahwa mereka bisa mencetak dan mendistribusikan media tersebut karena adanya penghasilan dari iklan.

Keburukan dari adanya iklan:
Memunculkan budaya materialisme. Konsumer yang tidak memiliki kemampuan rasional yang cukup baik dapat mudah terbujuk untuk membeli/mengkonsumsi produk-produk yang mungkin bukan merupakan kebutuhan utamanya. Hal ini dapat mengakibatkan persepsi yang salah di mata masyarakat bahwa memiliki/mengkonsumsi suatu produk dianggap menaikkan harkat diri manusia. Contoh: bila belum makan hamburger, rasanya belum menjadi manusia modern.
Memunculkan perilaku stereotip yang berbahaya. Penampilan tokoh-tokoh/model pada iklan dapat menimbulkan persepsi yang salah, seperti: bicara mengenai karir berarti bicara mengenai dunia kaum pria, bicara mengenai kecantikan berarti bicara mengenai kulit yang putih, rambut yang panjang terurai, bicara mengenai keluarga bahagia berarti bicara mengenai ayah, ibu, anak pria dan anak wanita dan lain-lain.
Munculnya produk-produk yang sebenarnya berbahaya untuk dikonsumsi. Karena alasan mendapatkan perlakukan yang sama dalam berkomunikasi dengan konsumernya, maka produk-produk itu juga diperkenankan beriklan (walaupun dengan banyak batasan) sehingga mempunyai resiko produk-produk itu dikenal oleh consumer-konsumer baru yang sebelumnya belum mengenail produk-produk tersebut. Ada pula produk-produk lain yang dalam iklannya berusaha membujuk konsumernya untuk menggunakan suatu produk dengan frekuensi yang sebanyak mungkin sehingga dapat memutar roda ekonomi. Padahal penambahan frekuensi penggunaan tidaklah secara otomatis berdampak pada peningkatan kualitas hidup manusia, bahkan dalam beberapa kasus, hal ini malah bisa membahayakan diri manusia.

Efek negatif iklan bisa sangat signifikan karena 3 faktor utama dari ciri-ciri dasar iklan:
Persuasif
Iklan bagaimanapun juga akan selalu mempunyai unsur membujuk seseorang untuk mempercayai isi pesan pada iklan tersebut dengan harapan konsumer mau memperhatikan, mencoba dan menjadi loyal terhadap suatu produk/jasa.
Frekuensi
Iklan akan selalu ditampilkan dengan frekuensi yang tinggi dengan harapan dapat menjangkau lebih banyak konsumer dan makin mudah diingat oleh konsumer.
Exposure
Eksposur berkaitan dengan bagaimana pengiklan berusaha “mengurung” konsumer dengan berbagai macam media untuk menyampaikan pesan-pesan iklannya. Setiap media yang digunakan berarti akan menambah tingkat eksposur dari produk/jasa tersebut sehingga konsumer selalu teringat atas produk/jasa tersebut.

Menyadari sisi baik dan buruk dari periklanan, maka perlu disusun suatu pedoman Etika Periklanan di Indonesia (yaitu kitab Etika Pariwara Indonesia).

Apakah lalu masalahnya selesai? TIDAK!

Muncul pertanyaan baru: bukankah iklan “mendewakan” kreatifitas? Panduan etika hanya akan membatasi bahkan memasung kreatifitas tersebut!

Iklan dan etika seharusnya TIDAK dipertentangkan dan justru harus saling melengkapi
Lihat kembali pada definisi iklan dan pengertian mengenai etika
Keduanya memiliki satu unsur yang sama:
o    Iklan harus bersifat komunikatif kepada khalayaknya agar dapat diterima
o Untuk itu, iklan perlu mengetahui “consumer insights” yang akan sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya
o Etika juga disusun berdasarkan nilai-nilai budaya; termasuk nilai-nilai budaya dari khalayak
o Etika dengan demikian merupakan “negative consumer insights”; suatu pagar yang membatasi kreatifitas agar pesan komunikasi tidak ditolak oleh khalayak

Dapat ditambahkan pula analogi berikut di sini:
Pekerja kreatif di dunia periklanan adalah berbeda sifatnya dengan pekerja kreatif di dunia seni murni (“pure art”). Kreatif di dunia periklanan termasuk kategori “commercial art”; dimana dalam pengertiannya, suatu karya kreati periklanan berarti mempunyai “stakeholder” yaitu: pemesan iklan (produsen), biro iklan, mitra kerja biro iklan (rumah produksi, percetakan dan sebagainya), media massa dan berakhir pada konsumen. Suatu karya “pure art” (misalnya karya lukisan Picasso), lebih cenderung merupakan karya “dari saya untuk saya”. Suatu “consumer art” harus dapat menjembatani seluruh kebutuhan dari para “stakeholder”-nya tersebut.
Salah satu “jembatan” yang penting adalah bagaimana inti pesan dalam suatu iklan dapat diterima dengan baik oleh semua pihak yang terlibat. Di sinilah peran etika muncul. Etika komunitas periklanan memang dapat dimaklumi sifatnya membatasi ruang gerak para pelaku usaha di komunitas ini. Pembatasan itu bertujuan positif agar seluruh pihak terkait dapat melakukan usahanya dengan sebaik mungkin tanpa harus merugikan salah satu pihak terkait.
Seorang insan kreatif periklanan yang tidak ingin “dibatasi” dengan segala pedoman etika tersebut sebaiknya berpikir ulang untuk meneruskan karirnya di dunia periklanan karena dengan tidak memperhatikan etika periklanan secara otomatis ia juga tidak mau memahami dan mengapresiasi nilai-nilai budaya masyarakat yang menjadi sasaran komunikasinya. Dengan demikian, dapat dipastikan, hasil karya iklannya tidak akan efektif dan efisien juga.